MAHFUD MD: SANG PEJUANG KEBENARAN HUKUM
Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD, SH, SU, pria kelahiran Sampang, Madura, 13 Mei 1957, itu adalah alumnus dan guru besar Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, juga lulusan Fakultas Sastra dan Kebudayaan serta doktor hukum tata negara UGM. Sebelumnya, ia anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) DPR dan mantan Menteri Pertahanan di era Presiden Gus Dur (Kabinet Persatuan Nasional). Ia terpilih menjadi hakim konstitusi di DPR dan dilantik menjadi hakim konstitusi pada 1 April 2008.
Mahfud MD terpilih menjadi ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2011. Ia didampingi Abdul Muhktie Fadjar sebagai wakil ketua MK. Suasana demokratis terlihat selama proses pemilihan. Mahfud, sesaat setelah terpilih, langsung menghampiri Jimly dan saling berjabat tangan. Jimly pun mengucapkan selamat dan mendukung ketua baru MK. Mahfud juga menilai Jimly Asshiddiqie telah membawa MK dikenal publik sebagai lembaga yang transparan dan akuntabel. Kemudian ia berjanji akan menjaga independensi dan netralitas MK serta bertindak sebagai negarawan dalam setiap keputusannya. Sebagai seorang hakim konstitusi ia akan menjadi seorang negarawan yang baik bukan lagi politikus.
Mahfud MD menyadari betul Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga negara yang bertugas untuk menjaga keadilan, bukan “corong” Undang-Undang dan produk hukum lainnya. Hal ini ditekankan, sebab selama ini hukum yang diterapkan oleh para penegak hukum lebih terasa pada sesuainya sebuah keputusan dengan bunyi teks hukum, sementara rasa keadilan sebagai tujuan daripada dirumuskannya hukum jauh dari capaian semestinya.
Mahfud juga aktif dalam mengkritisi realitas hukum di Indonesia, dimana paradigma perumus, pembuat (pemerintah dan DPR) dan penegak hukum masih terjebak pada paradigma hukum konservatif. Menurutnya, seharusnya paradigma hukum yang terbangun di tataran perumus dan penegak hukum saat ini adalah paradigma progresif, yang nantinya akan mengarah pada terwujudnya keadilan substantif. Mahfud sendiri dikenal dengan hukum Progresifnya.
Hukum konservatif
Ada beberapa indikator yang memperlihatkan realitas hukum Indonesia berwatak konservatif ini. Pertama, proses pembuatannya bersifat sentralistis yang didominasi oleh lembaga-lembaga negara. Semestinya, proses pembuatan hukum dilakukan melalui pendekatan masyarakat (partisipatif), sehingga rasa keadilan yang diinginkan masyarakat bisa terwujud. Bahkan, Mahfudz menengarai sekarang ini ada kecenderungan untuk menyembunyikan pembuatan peraturan agar tidak mendatangkan kritik dari masyarakat.
Kedua, isi peraturan hukum lebih bersifat positivis-instrumentalistik. Artinya, hukum yang dibuat tidak lebih hanya untuk dijadikan instrumen legitimasi kehendak penguasa, bukan untuk melaksanakan kehendak rakyat. Ketiga, pelaksanaannya lebih mengutamakan program dan kebijakan jangka pendek dari pada menegakkan asas-asas dasar konstitusional demi mencapai tujuan negara. Dan keempat, penegakan hukum seringkali lebih mengutamakan perlindungan korps kelembagaan. Yang terjadi kemudian, pembelokan hukum oleh aparat untuk mengaburkan pelanggaran atau kekeliruan oleh lembaga negara tertentu seringkali dilakukan.
Hukum Progresif
Dengan kondisi faktual hukum di atas, sangatlah penting ke depan paradigma hukum yang harus dipegang oleh para perumus dan pembuat serta penegak hukum adalah hukum progresif. Mahfud mengakui, dengan paradigma profresif ini, beberapa kali MK melakukan terobosan-terobosan hukum yang tak ayal banyak menuai kritikan.
Mahfud mengurai pendapatnya dengan mengutip pandangan ahli hukum, Satjipto Raharjo (alm.), tentang paradigma hukum progresif. Yaitu, pertama, hukum sejatinya adalah untuk manusia. Kedua, hukum senantiasa menolak untuk mempertahankan status quo. Dan ketiga, hukum memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam berhukum.
Dengan paradigma progresif ini, hukum akan berjalan dalam upayanya melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak. Dengan ini pula, hukum akan berjalan secara fleksibel dan mengalir, tanpa harus berpaku teguh terhadap peraturan-peraturan yang justru seringkali membelenggu masyarakat. Konsekuensinya, hukum secara tertulis juga akan selalu mengalami perubahan-perubahan, dan ini merupakan suatu keniscayaan.
Perangkat teoritis di atas salah satu alasan (atau dasar) MK dalam melakukan tugas konstitusionalnya. Selain itu, Mahfudz menegaskan, MK bergerak sesuai prinsip keadilan substantif, bukan prosedural sebagaimana banyak diterapkan aparat penegak hukum dan lembaga negara lainnya. Dengan dua alasan inilah MK mengawal konstitusi agar tidak dilanggar.
Dengan alasan ini pula, Mahfudz menyatakan, demi tercapainya rasa keadilan, Undang-Undang dan aturan hukum lainnya boleh saja dikesampingkan. Untuk tercapainya rasa keadilan ini pula MK seringkali “melampaui” Undang-Undang dalam memutuskan sengketa hukum. Rasa keadilan lebih ditekankan sebab, sejak dulu hingga sekarang, hukum dibuat dalam proses politik yang buruk.
Karenanya, jika penegak hukum dalam memutuskan perkara terpaku pada aturan-aturan hukum tertulis (formalistik), kemungkinan besar akan banyak yang jauh dari tewujudnya keadilan. Prinsip formalistik ini banyak dipegang oleh penegak hukum hingga sekarang. Makanya MK selalu melakukan terobosan-terobosan hukum guna memecah kebuntuan serta meluruskan hukum, yang secara konstitusional seringkali melawan arah terwujudnya keadilan.
(Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

0 komentar:

Posting Komentar